- Pemprov Jambi Apresiasi Kehadiran Backstagers Indonesia sebagai Mitra Industri Kreatif
- Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Terjaga di Tengah Meningkatnya Dinamika Global
- Lakukan Safari Subuh Keliling, Gubernur Al Haris Himbau Masyarakat agar Tidak Melalaikan Shalat
- Gubernur Al Haris Upayakan Putus Rantai Produksi CPO Kelapa Sawit
- Gubernur Al Haris Kukuhkan 54 Petugas Haji Provinsi Jambi
- Yuk Kenalan dengan Saham, Reksa Dana, dan Obligasi
- Warga Digemparkan Temukan Mayat Sejoli di Dalam Mobil Terparkir di Tempat Perbelanjaan Trona Ekspres
- Pastikan Seleksi PPPK Berjalan Lancar, Wawako Diza Pantau Langsung dan Apresiasi Peserta
- Dandim Pungky Beri Pembekalan dan Motivasi untuk Satgas Yonif 142/KJ Jelang Tugas di Papua
- Pungli Menggurita di Kota Jambi, Djokas Siburian Anggota DPRD kota Jambi Akan Tempuh Jalur Hukum: Saya Siap Buat Laporan Resmi
Di Tengah Badai Ekonomi, Pemerintahan Baru Mencari Arah

Keterangan Gambar : Muhibbullah Azfa Manik dosen di Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta, Padang
Mediajambi.com - Hari-hari di semester pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diwarnai ujian berat dari dapur ekonomi. Tekanan global yang kian intens menyeret nilai tukar rupiah kembali ke titik rentan. Pada 3 April 2025, kurs rupiah menembus Rp17.000 per dolar Amerika Serikat. Penguatan
dolar, ditambah ketegangan geopolitik dan sikap hawkish The Fed, menempatkan Indonesia dalam posisi yang tak sepenuhnya nyaman.
Efek domino langsung terasa di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat koreksi tajam 1,52 persen dan bertengger di level 6.930, dan diprediksi akan terus terdepresiasi. Investor, baik lokal maupun asing, menarik napas panjang menanti kejelasan arah kebijakan ekonomi global— terutama dari Washington.
Yang ditunggu-tunggu ternyata datang dalam bentuk pukulan: Presiden Donald Trump, kembali ke Gedung Putih untuk periode keduanya, menerapkan tarif bea masuk sebesar 32 persen terhadap
beberapa komoditas ekspor utama Indonesia. Alas kaki, elektronik, hingga tekstil jadi sasaran. Kebijakan ini resmi berlaku sejak Februari lalu dan langsung memukul industri padat karya yang selama ini menopang ekspor non-migas Indonesia.
Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Presiden Prabowo menginstruksikan pengiriman delegasi diplomatik ke Amerika Serikat. Misi mereka: meredakan tensi dagang dan merundingkan ulang tarif impor yang dianggap memberatkan pelaku industri dalam negeri. Di sela-sela pertemuan kabinet, Prabowo menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan ekonomi dalam relasi bilateral.
Di dalam negeri, tantangan tak kalah kompleks. Pemerintah merancang langkah-langkah strategis untuk menahan guncangan eksternal. Salah satu fokus utama ialah memperluas pasar ekspor ke wilayah non- tradisional, seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ini menjadi bagian dari agenda diversifikasi yang selama ini hanya sebatas wacana.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur tetap jadi primadona dalam peta jalan ekonomi nasional. Jalan, pelabuhan, hingga kawasan industri dipercepat demi menekan ongkos logistik dan menstimulasi efisiensi produksi.
Di sisi moneter, Bank Indonesia menjaga suku bunga dan intervensi valas untuk meredam volatilitas rupiah dan mengendalikan imported inflation. Stabilitas makro menjadi prioritas, meski ruang geraknya makin sempit di tengah tekanan eksternal dan perlambatan ekonomi global.
Pemerintah juga memperluas investasi di sektor sumber daya manusia. Pendidikan vokasi, pelatihan keterampilan digital, hingga penguatan riset dan inovasi teknologi mulai digarap lebih serius.
Kementerian Perindustrian menetapkan lima sektor prioritas—makanan-minuman, tekstil, otomotif, kimia, dan elektronik—sebagai motor penggerak industrialisasi baru.
Tak kalah penting, sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM) mulai mendapat porsi perhatian lebih besar.
Skema pembiayaan diperlonggar, promosi ekspor digencarkan, dan pengembangan produk terus didorong. Pemerintah berharap IKM tak lagi sekadar pelengkap, melainkan bagian dari arsitektur utama ekonomi nasional.
Di tengah semua strategi itu, pertanyaan mendasarnya masih bergema: mampukah pemerintahan baru menavigasi badai yang tengah berkecamuk?
Sejauh ini, langkah-langkah yang diambil pemerintah terlihat berhati-hati dan pragmatis. Namun, waktu tak memberi banyak ruang untuk coba-coba. Krisis global, proteksionisme dagang, serta ketegangan geopolitik hanya bisa dihadapi lewat kombinasi antara ketegasan kebijakan dan kecakapan diplomasi. Rakyat, pelaku usaha, dan dunia internasional kini menanti jawaban dari Istana.(***)